Kampanye
hitam pada pemilu presiden di Amerika berhasil menghantarkan seseorang menjadi
presiden di Amerika. Kampanye Bush bermain pada ketakutan ras mayoritas (kulit
putih). Pada pilpres 2014 Prabowo persis memainkan ketakutan yang sama yakni
ketakutan kaum mayoritas, dalam hal ini muslim. Jokowi dikampanyekan sebagai
Kristen dan Keturunan Tionghoa, sehingga muncul ketakutan di kalangan muslim
bahwa Indonesia akan dikuasai oleh Kristen dan Tionghoa.
Kampanye
keduanya terlihat satu agresif menyerang (Prabowo) dan satunya lebih defensif
(Jokowi). Padahal terang benderang diketahui Jokowi adalah muslim dan keluarga
yang sudah berhaji seluruhnya, sementara jika dilakukan serangan balik kepada
Prabowo mungkin akan ceritanya berbeda dimana keluarga Prabowo banyak Kristen.
Namun, sepertinya kampanye hitam itu tak berhasil memenangkan kubu Prabowo
layaknya yang terjadi di Amerika.
Pilkada
DKI Jakarta dimulai karena usainya masa 5 (lima) tahunan kepemimpinan. Ahok pun
telah banyak mendapatkan serangan kampanye hitam terkait agama dan keturunan.
Berbeda dengan Jokowi yang memenangkan pilpres, hasil hitung cepat quickcount Ahok kalah di pilkada DKI.
Ternyata kampanye hitam yang sebelumnya dipercaya tidak berlaku di Indonesia,
nyatanya berlaku. Sebanyak 76% responden mengaku puas dengan masa kepemimpinan
Ahok. Namun, alasan apa yang memacu masyarakat DKI enggan melanjutkan sosok
yang jujur, bersih dan berani tersebut?
Banyak
orang yang terkesima saat melihat cara Jokowi yang suka blusukan ke
daerah-daerah. Kesan pertama (first
impression) memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap persepsi
seseorang, yang dalam ilmu psikologi dapat dijelaskan dengan fenomena “Halo Effect”, di mana kesan positif atau
negatif yang kita dapat dari orang yang baru kita temui membentuk kesan
menyeluruh mengenai orang tersebut, yang kemudian sulit tergoyahkan dan
menimbulkan bias ketika kita menilai orang tersebut pada sifat-sifat
spesifiknya. Jokowi begitu sangat mengesankan dan banyak orang menyukai
kepribadiannya.
Tidak
ada yang berani menyentuh Tanah Abang, tapi Ahok dengan keberaniannya
membereskan Tanah Abang. Diskotek Stadium di Jakarta sudah berdiri 16 tahun dan
menjadi sarang maksiat, transaksi seks, dan narkoba, tetapi tidak ada satupun
Gubernur Jakarta (yang notabene selalu muslim) yang berani menutupnya, bahkan
seorang Gubernur Jakarta yang berlatarbelakang jenderal militer sekalipun
seperti Bang Yos. Namun Ahok, begitu mendapat mandat menjadi Plt. Gubernur DKI,
tanpa basa basi langsung menutupnya.
Kesan
pertama yang didapatkan oleh Jokowi sepertinya tak didapat banyak oleh sosok
Ahok. Tidak banyak pula membencinya dan mencari celah untuk bisa menyalahkan
dan mengurangi elektabilitas dirinya. Padahal dirinya telah melakukan banyak
hal yang diluar nalar dan semuanya baik.
Apakah
benar Agama menjadi faktor penghambat jiwa kepemimpinan sejati untuk dapat
memberikan keadilan yang sejati? Apakah saya salah lahir di keluarga yang
nonmuslim? Kelak saya akan sangat sulit untuk menjadi pemimpin di negeri ini
khususnya daerah saya dibesarkan. Padahal saya memiliki kecintaan yang besar
pada daerah saya. Nation Building
perlu terus di kampanyekan, ciptakan sikap persepsi baik bahwasanya sepanjang
pemimpin itu jujur, cerdas, tulus, dan punya nyali untuk memberantas korupsi
dan sikap-sikap intoleran, berjuang merebut keadilan sosial, dan berbagai
penyimpangan tanpa harus memandang agama dan keturunannya. Jika tidak demikian,
maka negara ini akan terus stagnan berada di jalur biasa-biasa saja atau
mengalami kemunduran.
0 Response to " Goresan Hati pilkada DKI "
Posting Komentar
silahkan berikan komentar Anda